REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin Makassar
Mimpi saya untuk bertemu langsung dengan Bapak Habibie terpendam 30-an tahun, sejak mulai mengenal nama dan ketenarannya sampai pada dua tahun lalu, 2017 di Kota Parepare, tempat kelahiran beliau. Saya bertemu dengan beliau saat diminta Wali Kota Parepare, H.M. Taufan Pawe untuk menyampaikan ceramah agama pada acara silaturahim beliau dengan masyarakat Parepare.
Saya teringat, saat dihubungi untuk mengisi acara tersebut, sedang berada di Banjarmasin. Saya dihubungi sore hari untuk acara besoknya.
Saya begitu 'gemes' dengan situasi saya. Dalam benak saya, 'now or never' untuk bertemu langsung dengan Pak Habibie. Untung bisa diraih, saya mendapatkan pesawat untuk pulang ke Makassar pada malam harinya dengan transit, dan itu satu-satunya cara untuk bisa mencapai Parepare yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Makassar pada keesokan malamnya yang menjadi waktu acara tersebut.
Saat saya ceramah, saya hanya mengulas satu pelajaran kehidupan terpenting yang bisa dipetik dari diri seorang Habibie: Cinta. Dalam dirinya bersemayam kekuatan cinta yang terdahsyat: Cinta terhadap Ilmu Pengetahuan (Inteleketualisme) dan cinta terhadap bangsa (Nasionalisme). Lalu saya mengulas bagaimana dirinya menjadi ikon ilmu pengetahuan.
Saya lalu bertanya pada hadirin, siapa nama orang Indonesia yang paling banyak dipinjam sebagai nama anak yang baru lahir. Hadirin serentak menjawab: Habibie!
Saya meresponnya dengan mengurai: Saat masih kecil di kampung, saya punya teman bernama Habibi. Saat masuk sekolah dasar saya juga memiliki teman bernama Habibi. Saat pergi ke kota sekolah saya juga bertemu dengan seorang siswa yang bernama Habibi.
Saat bekerja sebagai dosen, saya punya kolega bernama Habibi. Saat tinggal di sebuah kompleks perumahan, saya punya tetangga bernama Habibi.
Waktu selalu menemani anak kecil saya masuk TK, ternyata ada temannya bernama Habibi. dan betapa menakjubkan, tetangga yang bernama Habibi itu pernah bercerita bahwa dia menyukai seorang perempuan yang bernama: Habibah, yang membuat Pak Habibie tertawa terpingkal di atas kursinya yang disiapkan khusus di antara ribuan hadirin yang duduk bersila.
Betul nama Habibi tidak ada matinya, terus memesona generasi, segera setelah post-kolonial sampai era milenial saat ini.
Lalu saya mengulas bagaimana cinta Habibie terhadap ilmu pengetahuan dengan level kejeniusan dan pengabdian yang dimiliki oleh beliau. Saya berefleksi, bukankah semua anak bangsa ingin seperti Pak Habibie. Setiap anak kampung yang mengengok ke langit mengikuti pesawat melintas di angkasa, nama yang terpatri di benak mereka adalah sosok Habibie.
Saya kemudian mengulas cinta pada Tanah Air yang tak terkira yang dimiliki Pak Habibie, dengan kesiapaannya kembali mengabdikan keilmuannya demi bangsa di saat dirinya mendapatkan 'privelege' di negara maju sekelas Jerman.
https://ift.tt/32UShbj
September 22, 2019 at 07:03AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/32UShbj
via IFTTT
No comments:
Post a Comment