REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun ini pemerintah menetapkan pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai prioritas. Sekitar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggarkan untuk pendidikan, sementara lima persen lainnya untuk kesehatan.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada anggaran lebih besar lagi untuk pengurangan kemiskinan dan kesenjangan. Tapi, Sri mengakui, tantangan besar dalam investasi SDM adalah akuntabilitas laporan. Tidak seperti pembangunan infrastruktur seperti jembatan dan jalan yang terlihat hasil fisiknya, pengembangan SDM sulit untuk terukur.
"Dari segi belanja pun, sulit untuk memeriksanya," ujarnya dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (21/3).
Berbicara dampak dari belanja untuk kesehatan membutuhkan upaya mengukur yang lebih sulit dan terkadang memakan waktu panjang. Misal, menghitung penurunan jumlah anak yang mengalami kurang gizi (stunting) ataupun menghitung jumlah bayi yang dilahirkan dalam kondisi sehat.
Begitupun di sektor pendidikan. Sri menjelaskan, bukan pekerjaan mudah untuk mendapatkan indikator bahwa seorang anak semakin pintar atau tidak melalui fasilitas yang diberikan pemerintah menggunakan APBN. "Kita tidak tahu, anaknya semakin pintar atau tidak, tapi yang pasti, uangnya sudah habis," tuturnya.
Kondisi tersebut tidak hanya terjadi pada pemerintahan, juga di institusi seperti TNI dan Polri. Sri menuturkan, membangun profesionalisme di lingkungan tersebut akan lebih sulit dibanding dengan membangun barrack atau alutsista. Menurutnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan SDM dan institusi memiliki indikator pengukuran lebih sulit.
Di sisi lain, Sri menekankan, pengembangan SDM memiliki dampak luar biasa bagi ekonomi dan negara. Sebab, SDM menjadi kunci di samping infrastruktur untuk memaksimalkan kinerja roda ekonomi Indonesia.
Karena sulit menghitung hasil kuantitas dari investasi, Sri mengajak seluruh aparat pusat dan daerah, baik yang merupakan aparat pengawasan maupun pelaksana anggaran untuk terlibat aktif. "Tolong perhatikan betul tentang kualitas belanja dan akuntabilitas, terutama di area yang jauh lebih sulit menghitung akuntabilitasnya seperti belanja untuk SDM," katanya.
Untuk dapat melaksanakan tugas itu, Sri berharap aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) memiliki profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Apabila APIP diisi orang orang-orang yang tidak mempunyai dua poin tersebut, maka sulit untuk mencapai akuntabilitas tinggi melalui kinerja APIP.
Selain kerja aktif APIP di tingkat pusat dan daerah, Sri juga mengajak pemanfaatan teknologi untuk sistem penganggaran dari sisi belanja ataupun anggaran. Dengan sistem tersebut, data dapat terorganisir secara baik dan diunduh sesuai dengan kebutuhan.
Sri menekankan, yang dibutuhkan saat ini adalah SDM mumpuni untuk mengelola dan menganalisis data tersebut, dari data miner hingga data analytic. Mereka dapat mengetahui apabila kinerja pengelolaan keuangan negara kurang optimal atau tidak efisien. "Kekurangan ini dapat diketahui secara dini dan akurat," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, pengawasan adalah suatu unit dalam sistem pemerintahan untuk mencapai hasil. Di Indonesia, upaya pengawasan sudah dilakukan secara maksimal dengan keterlibatan banyak lembaga. Dari BPKP yang audit internal, eksternal, kepolisian hingga KPK dan LSM.
Dengan banyaknya lembaga tersebut, JK menyebutkan, pemerintah mendapat pengawasan secara berkali-kali dan melalui banyak lapisan. "Kalau sekarang banyak yang bocor, itu akibat dari banyaknya pemeriksaan," katanya.
https://ift.tt/2FtHufD
March 21, 2019 at 02:09PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2FtHufD
via IFTTT
No comments:
Post a Comment