REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan perkara dugaan korupsi pembangunan dua gedung IPDN di Gowa, Minahasa. Di mana, proyek ini digarap oleh PT Adhi Karya dan PT Waskita Karya.
"Kami menduga korupsi dalam pembangunan Kampus IPDN ini memang tidak hanya terjadi pada satu atau dua tempat saja. Tapi ada beberapa proyek kampus IPDN yang diduga dikorupsi," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Kamis (14/3).
Febri mengatakan, saat ini tim penyidik sedang mempelajari lebih jauh dokumen serta alat bukti eletronik lainnya yang disita dari PT Adhi Karya dan PT Waskita Karya. Nantinya, tim penyidik juga akan memeriksa saksi-saksi yang berkaitan dengan perkara ini untuk menelusuri lebih jauh hasil barang sitaan KPK tersebut.
"Dan ini yang kami garisbawahi juga ketika korupsi terjadi di fasilitas pendidikan, harapannya itu bisa lebih sedikit," katanya.
Diketahui, pada Selasa (12/3), tim KPK menggeledah kantor PT. Waskita Karya dan PT. Adhi Karya terkait proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pembangunan kampus IPDN di Gowa dan Minahasa. Dalam pemggeledahan, disita sejumlah dokumen-dokumen dan bukti informasi elektronik dalam bentuk Compact Disc yang kami pandang akan mendukung pembuktian perkara pokok.
Dalam kasus ini, KPK telah menjerat mantan Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Setjen Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Dudy Jocom dan Kepala Divisi Konstruksi VI PT Adhi Karya (Persero) Tbk, Dono Purwoko dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gedung IPDN Sulawesi Utara tahun anggaran 2011. Selain itu, Dudy Jocom juga menyandang status tersangka bersama Kepala Divisi I PT Waskita Karya (Persero) Tbk, Adi Wibowo dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gedung IPDN di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tahun anggaran 2011.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata juga memastikan akan mengusut keterlibatan peran serta PT Waskita Karya dan PT Adhi Karya dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gedung Kampus IPDN di Sulawesi tersebut.
"Kalau perseroan itu mengetahui tender arisan dan dia tidak memiliki alat untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan seperti ini, tidak berusaha mencegah untuk mencegah agar perusahaan tidak terlibat dalam tender arisan seperti ini, ya sesuai Perma Nomor 13 kan bisa menjadi tersangka," kata Alexander beberapa waktu lalu.
Diketahui, KPK telah menjerat lima korporasi sebagai tersangka kasus korupsi lewat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 yang mengatur penanganan tindak pidana korupsi (tipikor) oleh korporasi.
Korporasi pertama yang dijerat KPK yakni PT Duta Graha Indah (DGI) yang kini berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjineriing (NKE). Kemudian, KPK berturut-turut menggunakan Perma tersebut untuk menjerat PT Tuah Sejati, PT Nindya Karya.
Selanjutnya, KPK juga menjerat PT Tradha sebagai tersangka korporasi. Namun, PT Tradha ditetapkan sebagai korporasi terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Terakhir, KPK menetapkan PT Merial Esa sebagai tersangka di kasus Bakamla.
Adapun, korporasi yang baru divonis bersalah adalah PT NKE. Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis PT NKE bersalah dan harus membayar uang pengganti sebesar Rp85,4 miliar dan denda senilai Rp 700 juta.
Selain itu, PT NKE juga diganjar dicabut haknya untuk mengikuti lelang proyek pemerintah selama enam bulan. Atas putusan tersebut, pihak PT NKE tidak mengajukan upaya hukum banding.
https://ift.tt/2Uwic5y
March 14, 2019 at 02:43PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Uwic5y
via IFTTT
No comments:
Post a Comment