REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Arab Saudi menerapkan kebijakan rekam biometrik oleh Visa Facilitation Services (VFS) Tasheel sebagai syarat calon jamaah umrah mendapatkan visa umrah. Kebijakan tersebut diberlakukan sejak Senin, 17 Desember 2018.
Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) memiliki kendala yang sama dengan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) lainnya semenjak kebijakan rekam biometrik diberlakukan. Himpuh meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) hadir membantu menyelesaikan persoalan kebijakan rekam biometrik.
"Harapannya pemerintah hadir secara langsung dan tegas, karena ada negara-negara yang sudah dibebaskan dari persoalan (kebijakan rekam) biometrik ini," kata Ketua Umum Himpuh, Baluki Ahmad kepada Republika.co.id, Jumat (21/12).
Baluki mengatakan, negara yang bebas dari persoalan kebijakan biometrik karena dibantu pemerintah setempat. Negara mereka hadir dengan tegas menyelesaikan persoalan yang memberatkan calon jamaah umrah.
Menurutnya, mestinya pemerintah turun langsung ke lapangan untuk melihat ke daerah yang terdampak kebijakan rekam biometrik. Kebijakan tersebut benar-benar menyengsarakan umat. Kebijakan tersebut di Jakarta saja sudah menjadi hambatan, apalagi di daerah.
"Kemana pejabat Kementerian Agama? (kemana) kantor wilayah-kantor wilayah (Kemenag) setempat, negara harus hadir, jangan sampai gagal masyarakat (jangan sampai masyarakat gagal berangkat umrah-red) tapi dibiarkan," ujarnya.
Baluki mengungkapkan, harusnya pemerintah mempertanyakan apakah benar dan pantas VFS Tasheel ada di Indonesia. Akibat kebijakan rekam biometrik yang dilakukan VFS Tasheel, calon jamaah umrah jadi kesulitan melaksanakan ibadah umrah.
“Jangan hanya pihak swasta saja yang bersuara untuk memperjuangkan aspirasi calon jamaah umrah, pemerintah juga harus hadir bersama-sama,” tutur dia.
Dihubungi secara terpisah Kementerian Agama (Kemenag) merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. "Pada prinsipnya kami juga keberatan dengan penerapan wajib rekam biometrik sebagai syarat visa," kata Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus dari Kemenag, M Arfi Hatim kepada Republika.co.id, Jumat (20/12).
Arfi mengatakan, keberatannya sangat beralasan. Calon jamaah umrah Indonesia tinggal di pelosok-pelosok negeri. Sementara tempat untuk merekam biometrik yakni kantor VFS Tasheel belum ada di semua kabupaten dan kota. Lokasi untuk melakukan rekam biometrik baru ada di 34 titik, itupun belum tersebar di semua provinsi yang ada di Indonesia.
Ia menyampaikan, jika kebijakan rekam biometrik tetap akan diberlakukan, pihaknya berharap agar pemberlakuan kebijakan tersebut bisa ditunda terlebih dahulu. Bisa ditunda sampai keberadaan kantor VFS Tasheel tempat melakukan rekam biometrik tersedia di semua kabupaten dan kota atau ada saat jamaah akan berangkat di bandara.
"Kemenag akan terus berupaya bersama beberapa pihak termasuk asosiasi agar kepentingan jamaah untuk melaksanakan ibadah umrah terlindungi dan tidak disulitkan dengan kewajiban administratif yang diterapkan, sehingga memberi kemudahan dalam melaksanakan ibadah umrah," ujarnya.
Sebelumnya, Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) telah menemui Wakil Menteri Haji Arab Saudi bidang Umrah di kantornya yang ada di Jeddah, Arab Saudi. PATUHI menyampaikan aspirasi calon jamaah umrah Indonesia yang merasa sangat keberatan dengan kebijakan rekam biometrik.
PATUHI menilai kebijakan rekam biometrik sangat memberatkan calon jamaah umrah Indonesia. Pasalnya, kantor VFS Tasheel yang ditunjuk sebagai operator perekaman biometrik saat ini hanya ada di beberapa provinsi dan kota besar saja. Kantor VFS Tasheel belum ada di seluruh kabupaten dan kota yang ada di Indonesia. Sehingga calon jamaah umrah dari pelosok kesulitan melakukan rekam biometrik.
Berita Terkait
http://bit.ly/2QG86Rw
December 21, 2018 at 04:31PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2QG86Rw
via IFTTT
No comments:
Post a Comment