Oleh: Moh As'adi, Mantan Jurnalis Republika
Saya acapkali naik turun Sindoro-Sumbing, bukan mencari proyek atau 'mroyek'. Sebagai cucu juragan rokok (garis ayah) dan juragan cerutu (garis ibu)serta anak juragan tembakau yang punya banyak teman petani tembakau, acapkali mengelus dada. Meski saya jauh dari daun berasa pahit itu, tembakau bagi saya adalah budaya dan kehidupan, saya naik turun bukit untuk berdialog dari hati kehati.
Upacara-upacara terkait pertembakauan, membuat saya bangga sekaligus terharu. Upacara-upacara itu di satu sisi membuat saya seperti tengah berada dalam kancah perjuangan mempertahankan sebuah kehidupan yang makin tertindas. Upacara-upacara itu bagai cermin yang memantulkan aura tangisan tersembunyi.
Upacara-upacara itu bagi saya hampir menyerupai sebuah kegembiraan di tengah ketakberdayaan . Saya jadi ingat dengan sebuah tulisan yang menceritakan sekumpulan cerdik pandai duduk di sebuah meja bundar di hotel mewah dengan hidangan kelas satu, membicaran kemiskinan dan kelaparan di banyak negara.
Tembakau adalah nafas dan kehidupan orang-orang Sindoro-Sumbing, orang-orang yang telah memberikan kehidupan buat saya dan anak-anak saya , serta kekek buyut saya. Orang-orang itu, hidup dalam ketentraman serta kedamaian gunung, namun di sana ada kegelisahan dan ketidakberdayaan.
Saya acapkali didatangi petani tembakau yang saya kenal, mengira saya adalah miliayader yang mampu memberi pinjaman. Setiapkali menghadapi musim tanam, selalu tak ada uang di tangan. Bahkan tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tutup lubang gali lubang .Ironisnya, rentelah yang jadi andalan mereka. Sudah menjadi rahasia umum, sistem nglimolasi menjadi andalan mereka. Artinya, hasil jerih payah mereka hanya untuk menutup rente. Pinjam Rp1 juta harus mengembalikan Rp 1,5 juta,lah kalau pinjamnya sampai puluhan juta ?
Di beberapa desa yang saya kunjungi, seusai musim panen, sebagian laki-lakinya terutama yang masih muda-muda ‘eksodus’ ke Kalimantan, jadi buruh di perkebunan kelapa sawit. Menjelang musim panen, biasanya pulang dengan tanpa membawa uang cukup, karena gaji habis untuk menutup kebutuhan sehari-hari di perantauan.
Memang hanya segelintir orang saya kasih pinjaman-dengan catatan saya hanya menolong, saya tidak mau bunga atau bagi hasil, uang sepuluh juta kembali sepuluh juta. Yang saya minta mengembalikan tepat waktu.
Orang yang tinggal di lereng Sumbing itu bilang sama saya: "Wah pak kalau tetangga saya tahu begini, pasti berbondong-bondong kesini, hampir semua orang di desa saya terjerat utang sama rentenir."
Saya hanya bilang, saya bukan bank dan tidak punya duit. Saya hanya menolong saja . Saya jadi teringat kolega saya di desa yang sama yang juga beberapa kali pernah datang dan tak kasih pinjaman untuk modal tanam tembakau. –saya bertanya ketetangganya, sejak usai panen tahun lalu dia tak pernah lagi muncul, dia itu orang yang temen, tepat janji dan lugu-
Kata orang itu,’’Seusai panen , dia sekarang nglajo Temanggung-Semarang, jadi buruh menaik turunkan pasir’, ’ Saya mengelus dada mendengarnya. Padahal sebelumnya tak kasih 13 ekor kambing untuk dipelihara. Hanya dalam waktu empat bulan berhasil meraih keuntungan hampir 15 juta yang ia gunakan sebagai modal tanam tembakau. Tapi kenapa ia kini tak datang-datang lagi? Tetangganya bilang bila ia sekarang seperti orang bingung.
Beberapa teman petani tembakau di Sindoro juga mengeluh-bertani tembakau saat ini hanya untuk bertahan hidup saja, kalau dihitung-hitung tak lagi menguntungkan. Pengalaman pahit musim panen 2018, kualitas tembakau bagus tapi harga murah.Bahkan harga tembakau dirasa tak pernah naik. Padahal tahun tujuh puluhan, ketika bapak saya masih jadi juragan tembakau , harga satu kilogram daun berasa pahit itu setara sepuluh gram emas. Ketika emas segramnya Rp 2.800, sekilo tembakau mencapai Rp28.000.
Secara hitung-hitungan, seharusnya standar harga tembakau sekarang ya setara sepuluh gram emas. Tapi jamaknya negara yang dikuasai kaum kapitalis-yang punya duit yang berkuasa-ditambah lagi kalangan anti tembakau yang konon-dibiayai perusahaan farmasi dunia-terus membuat berbagai tekanan. Bahkan orang menyetir mobilpun dilarang merokok.
Lah terus? Kok banyak rumah-rumah di desa penghasil tembakau terbilang ‘wah ‘? Coba simak dalamnya, berapa utang mereka? Bagaimana cara hidup mereka ? Musim panen tahun lalu, berapa orang terpaksa kehilangan lahannya karena disita para rentenir ? Dan satu lagi,coba telusuri sepanjang desa, berapa yang kaya dan berapa yang rumahnya tak layak ?
Melihat kenyataan itu, upacara-upacara itu bagi saya, bagai cermin sebuah pemberontakan . Ia memantulkan kegembiraan, harapan sekaligus kepedihan. Sebagai ujung tombak, bercucuran keringat, petani hanya jadi sapi perahan kaum kapitalis.
Dan sejatinya, apapun penderitaannya, mereka tak mau kehilangan jati dirinya sebagai petani dan tembakau adalah nafasnya.
http://bit.ly/2DGfaFh
April 30, 2019 at 02:05PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2DGfaFh
via IFTTT
No comments:
Post a Comment