REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan jauh ditempuhnya dengan penuh kesabaran. Sebagai orang miskin, Uwais al-Qarni mesti berhemat dalam mengonsumsi bekal. Pekerjaannya adalah penggembala kambing orang. Dari menabung hari demi hari, itulah yang menjadi modalnya dalam safar yang mulia itu.
Tujuannya satu: berjumpa langsung dengan Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya, dia sampai di Madinah. Setelah bertanya ke sana-sini, maka tibalah dia di kediaman Nabi SAW. Letaknya persis di sebelah Masjid Nabawi.
Rumah itu tampak tidak berbeda daripada rumah-rumah umumnya warga Madinah. Begitu sederhana. Tidak menunjukkan tanda-tanda istana atau kediaman para raja.
Sungguh, hati Uwais al-Qarni berdebar-debar. Betapa lama dia merindukan bertemu, melihat wajah mulia Rasulullah SAW. Pemuda ini sudah membayangkan, nanti dia akan mencium tangan beliau serta meminta doa-doa dan kebaikan dari beliau untuk dirinya dan ibundanya.
Dia pun mengetuk pintu rumah ini dan mengucapkan salam. Beberapa saat kemudian, terbuka sedikit pintu itu. Tampak sosok 'Aisyah RA, istri Rasulullah SAW.
Setelah mengabarkan keperluannya, 'Aisyah menjelaskan bahwa kini suaminya itu sedang tidak ada di rumah. Sebab, beliau sedang memimpin pasukan Muslimin dalam jihad di medan perang.
Betapa kecewa hati Uwais al-Qarni. Sebab, dia tidak bisa berjumpa langsung dengan sosok yang amat dirindukannya, padahal sudah bersusah-payah safar dari Yaman ke Madinah.
Awalnya, tersirat di benaknya untuk menanti kedatangan Rasulullah SAW. Mungkin, dia bisa tinggal sebentar di Masjid Nabawi? Atau, bekerja sebagai gembala hewan ternak milik penduduk sini? Namun, segera keinginan itu ditepisnya.
Sebab, dia ingat selalu pesan sang ibu: "Nak, hendaknya engkau lekas pulang." Maka Uwais pamit kepada 'Aisyah. Dia hanya menitipkan salam agar disampaikan kepada Nabi SAW.
Beberapa hari kemudian, Rasulullah SAW kembali dari medan perang. Sesampainya di rumah, Nabi Muhammad SAW bertanya tentang keadaan selama beliau tidak ada di Madinah. 'Aisyah lalu teringat seorang pemuda yang sebenarnya ingin berjumpa dengan beliau, tetapi dia tidak tahu adanya peperangan di luar Madinah sehingga tidak bisa menuntaskan keinginannya itu.
Rasulullah SAW kemudian menuturkan kepada sang istri, betapa Uwais al-Qarni mencintai dan menghormati ibundanya. Kisah Uwais ini juga dituturkan beliau kepada para sahabatnya. Beliau menceritakan, betapa pemuda itu setia mengurus dan mendampingi ibunya yang sakit-sakitan.
Sampai kemudian, Nabi SAW bersabda, "Suatu ketika, jika kalian bertemu dengan dia, mintalah dia agar berdoa dan beristigfar (meminta kepada dia agar memohon ampunan Allah bagi kalian). Dia adalah penghuni langit, bukan (sekadar) orang bumi."
Di antara mereka yang menyimak penuturan Rasulullah SAW ini adalah Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau juga menjelaskan sifat-sifat fisik Uwais al-Qarni, semisal tanda putih pada telapak tangan pemuda itu.
Waktu silih berganti. Rasulullah SAW kemudian berpulang ke rahmatullah. Umat Islam dipimpin Abu Bakar. Lantas, mertua Nabi SAW itu wafat. Kepemimpinannya digantikan oleh Umar bin Khaththab.
Tetap saja Khalifah Umar terngiang kata-kata Rasulullah SAW itu tentang Uwais al-Qarni. Maka setiap masuk waktu haji, Umar selalu mengajukan pertanyaan yang sama kepada para jamaah yang berasal dari arah selatan, utamanya Yaman.
"Wahai kalian, apakah kalian tahu seseorang bernama Uwais?" tanya Umar.
Pertanyaan itu juga kerap diajukannya kepada siapapun kafilah yang diketahui berasal dari Yaman. Bagaimanapun, tetap saja orang-orang yang ditanyai menunjukkan isyarat tidak tahu. Justru, mereka terheran-heran. Mengapa seorang amirul mu`minin bertanya tentang sosok bernama Uwais? Siapa dia? Apakah dia orang yang teramat penting? Raja-kah dia, barangkali?
https://ift.tt/2FaRSsp
March 14, 2019 at 03:55PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2FaRSsp
via IFTTT
No comments:
Post a Comment