REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika hidup seperti berjalan baik-baik saja, atau bahkan bergelimang harta kekayaan, boleh jadi keadaan yang sesungguhnya tidak bagus dalam pandangan Allah. Kondisi ini berkaitan dengan istidraj.
Secara kebahasaan, istidraj berarti 'mengulur.' Secara terminologi keagamaan, istilah itu merujuk pada keadaan 'terus-menerus diberi kenikmatan yang melalaikan, sehingga justru membinasakan.' Dalam pengertian sederhana, istidraj bermakna membuat seseorang terpedaya dengan jalan terus-menerus memberi apa-apa yang dinikmatinya.
Tanda-tanda orang yang mengalami istidraj dapat berupa banyak hal. Misalnya, terasa menyenangkan bila berbuat dosa, sehingga lalai dari memohon ampun kepada Sang Pencipta. Biasanya, mereka yang terkurung dalam istidraj kurang berhati-hati dalam mengonsumsi harta--apakah sumbernya halal atau haram.
Istilah istidraj diisyaratkan dalam Alquran surah al-A'raf ayat ke-182. Artinya, "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui."
Ungkapan "menarik mereka dengan berangsur-angsur" disebut sebagai "sanastadrijuhum". Maka dari itu, istilah istidraj mengandung makna 'daya tarik'. Di sinilah peluang tipu daya syaitan atau iblis dalam menjerumuskan manusia agar kian jauh dari Allah SWT. Orang-orang yang lemah imannya akan mudah tergiur tipu daya ini.
Berbeda dengan istidraj, mukjizat memang mengandung arti "daya tarik", tetapi bertujuan baik, yakni meninggikan ayat-ayat Allah supaya manusia yang beriman kian kuat keimanannya. Mukjizat biasa diberikan kepada para Nabi dan Rasul untuk memperkuat dakwah Islam kepada kaum kafir dan musyrik.
Bila istidraj bersifat menyesatkan, mukjizat mengembalikan seseorang pada jalan kebenaran. Hanya saja, wajar bila manusia yang lemah imannya mudah terpedaya dalam istidraj. Sebab, yang menarik hati dan pandangan mereka adalah kenikmatan duniawi, entah itu kekayaan, kemewahan, tubuh yang rupawan, dan sebagainya.
Apa solusi untuk menghindari istidraj? Minimal, dengan banyak-banyak introspeksi. Lihat surah al-Anfaal ayat 29 (artinya), "Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan ...." Itulah instrumen yang ditanam dalam diri setiap orang yang beriman.
Mereka merasakan getaran hati, firasat, atau ilham, dari Allah SWT sebagai awal introspeksi diri. Biasanya, saat mengenang perbuatan-perbuatan buruk yang pernah dilakukannya, maka timbul perasaan menyesal.
Ketika hati diingatkan untuk memohon ampun, maka itulah "perahu" yang menyelamatkan dari arus istidraj. Agar sinyal taubat itu ada, hendaknya seorang beriman menjaga diri dari harta yang haram dan berupaya konsisten dalam menjalankan perintah-perintah Allah.
https://ift.tt/2HcGRJr
March 12, 2019 at 06:33PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2HcGRJr
via IFTTT
No comments:
Post a Comment