REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Eti Nurhalimah
Pagi menyingsing fajar, suasana masih berkabut dingin samar-samar dalam kegelapan. Sudah beberapa malam aku tidak dapat memejamkan mata, selalu terjaga. Rasa takut masih menyelimuti meskipun kini aku bersama yang lainnya telah berada di tenda pengungsian, setelah selamat dari amukan dahsyat gelombang tsunami yang memorak-porandakan wilayah Banten dan Lampung Selatan.
Banyak orang tua yang kehilangan anak, suami kehilangan istri, Kakak kehilangan adik dan sebaliknya. Harta benda mereka habis terbawa derasnya air akibat gelombang tsunami dampak dari erupsi gunung Anak Krakatau. Mengingat kejadian malam itu, sungguh membuatku trauma, dadaku sesak, menahan kesedihan. Karena kini aku tak memiliki apa-apa.
Malam itu, ketika aku hendak pergi ke pertemuan muda-mudi desa yang juga bertepatan dengan malam Ahad. Malam panjang bagi anak muda, begitu beberapa syair lagu mengatakan. Setelah mempersiapkan diri dan berpakaian rapi, aku menunggu jemputan dari sahabat yang akan pergi bersama, sembari SMS-an.
Aku terkejut, tiba-tiba terdengar orang-orang di luar ribut dan berlarian sangat panik. Aku pun jadi heran, sebenarnya apa yang terjadi, mengapa semua orang berlarian?
Pada saat itu ibu tengah pergi kondangan dan adikku laki-laki mengantarnya. Dengan cepat, aku meraih handphone untuk menelepon Ahmad, yang tengah mengantar ibu kondangan di desa tetangga.
Namun, ketika suara panggilan itu mulai terhubung dan berdering, tiba-tiba air setinggi empat meter menerjang dan menghantam bagian atas didinding rumah dan atap. Aku terpental dan hanyut terseret arus. Aku terus berjuang dengan berenang sekuat tenaga.
Baca Juga: Telepon Genggam Bu Guru Aisyah
Di antara deru dan sengal kulihat sebatang kayu yang tengah mengambang. Tanpa berpikir panjang, aku pun memegangnya erat sebagai pelampung agar tidak tenggelam. Karena tenagaku sudah terkuras untuk berenang sejak terpental dan terseret air dari rumah. Dalam terkatung-katung, aku membaca asma Allah sebisaku.
Berdoa, meminta pertolongan-Nya. Karena hanya Dia yang menguasai segalanya.
"Aku sudah tak bisa merasakan apa pun, antara sakit, takut, dan pasrah menjadi satu. Andaikan hamba harus meninggal dalam peristiwa ini, Ya allah. Tak mengapa. Tapi tolong, selamatkan adik dan ibu hamba," doaku dalam hati, di saat badanku terombang ambing terseret air.
Di antara tenaga yang masih tersisa, aku terus berjuang. Meskipun tangan dan kaki ini merasakan sakit yang luar biasa karena harus membentur benda-benda lain yang turut berhampuran di atas air bah. Aku berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkan.
http://bit.ly/2BxdQDI
February 12, 2019 at 05:01PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2BxdQDI
via IFTTT
No comments:
Post a Comment