REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar Tata Kota dan Kebijakan Publik Asnawi Manaf menilai, program sejuta rumah tidak menjawab kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki hunian. Pasalnya, lokasi rumah subsidi yang berada jauh dari pusat kota.
“Fakta di lapangan 30 hingga 40 persen rumah subsidi itu ditinggalkan kosong, itu pemilik nya siapa? untuk investasi. Padahal itu dibangun oleh APBN untuk masyarakat,” kata Asnawi dalam acara Polemik Trijaya di d'Consulate Jakarta, Sabtu (16/2).
Merujuk pada data World Bank, ada sebanyak 60 persen keluarga di Indonesia berpenghasilan di bawah Rp 2,5 juta. Artinya, jelas dia, hunian subsidi dinilai masih tidak terjangkau oleh masyarakat kecil.
Selain itu menurut Asnawi, moda transportasi yang dibangun oleh pemerintah pun belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Alhasil jalur-jalur transportasi yang dibangun oleh APBN lebih banyak dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk membangun hunian strategis masyarakat kelas atas.
“Rumah subsidi itu harusnya ada di dekat infrastruktur yang dibangun oleh APBN,” tegas dia.
Untuk itu dia berpesan agar ke depannya pemerintah melibatkan publik dalam rencana tata kota. Siapapun presidennya nanti, tegas Asnawi, rancangan tata kota harus menjadi ‘panglima’ dari kebijakannya.
“Saat ini masih di atas kertas saja, implementasi tata kotanya tidak bagus. Jadi saya titip pesan, tolong jangan dilepas mekanisme pasar begitu saja. Harus ada keterlibatan publik,” ungkap Asnawi.
Karenanya dia berharap isu-isu keadilan sosial, tata kota, maupun masalah lingkungan secara umum bisa menjadi perhatian calon presiden yang akan berdebat pada Ahad (17/2). Kedua capres juga diharapkan bisa komit dan memberi solusi konkret akan masalah tersebut.
http://bit.ly/2BDUv3z
February 16, 2019 at 05:39PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2BDUv3z
via IFTTT
No comments:
Post a Comment