REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi polemik terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Lembaga tersebut juga telah membentuk suatu tim untuk memeriksa persoalan rancangan beleid tersebut.
Salah satu saran yang diajukan tim itu berkaitan dengan redaksi. Menurut Neng Djubaedah selaku juru bicara Tim Pengkajian RUU P-KS, istilah "kekerasan" sebaiknya diganti.
“Karena kalau kekerasan seksual itu kan definisinya tidak melarang orang yang melakukan hubungan seksual antara lawan jenis atau sesama jenis, baik di luar atau di dalam perkawinan, sedangkan dalam Islam itu termasuk zina, dan zina itu dilarang,” jelas Neng Djubaedah, usai ditemui Republika.co.id setelah rapat rutin MUI di Jakarta, Selasa (12/2).
“Maka kami putuskan untuk menyarankan agar mengganti kata kekerasan menjadi kejahatan seksual. Karena sebetulnya kalaupun nanti dengan nama kejahatan seksual, apa masalahnya? Justru itu menurut kami lebih tepat,” sambung dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Selain pengubahan kata "kekerasan", lanjut dia, ada beberapa rekomendasi lain yang disepakati MUI. Di antaranya adalah DPR dan pemerintah perlu merumuskan definisi yang jelas dan tegas tentang kekerasan seksual, terutama agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Pihaknya juga menyarankan, pemerintah dan DPR sebaiknya mengutamakan aspek preventif dalam soal ini. Neng mencontohkan, dalam ajaran Islam, cara berbusana yang menutup aurat dapat mencegah peluang terjadinya tindak kekerasan seksual. Rencananya, MUI akan secara resmi menyampaikan berbagai masukan tentang RUU P-KS ke DPR dalam waktu dekat.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Umum MUI Prof Yunahar Ilyas juga meminta supaya RUU P-KS dapat ditunda pengesahannya. Setidak-tidaknya, dia mengimbau pemerintah dan DPR menunggu terlebih dahulu hingga RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) rampung.
Baca juga: MUI Minta Pengesahan RUU P-KS Ditunda
Selain itu, lanjut Yunahar, pihaknya juga menilai materi RUU P-KS masih mengandung cukup banyak permasalahan. Misalnya, soal pendataan filosofis, paradigma, dan sejumlah pasal yang justru berbenturan dengan undang-undang lain.
“Jadi MUI minta supaya ditunda saja (pengesahan RUU P-KS), tidak usah buru-buru,” kata Yunahar saat ditemui Republika.co.id di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa (12/2).
http://bit.ly/2N1FJIC
February 12, 2019 at 06:16PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2N1FJIC
via IFTTT
No comments:
Post a Comment