REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Belajar” dari kasus Perang Aceh, pemerintah kolonial kian curiga terhadap kaum Muslimin Pribumi. Pada 1882, Belanda membentuk Presterraden Commisie yang berfungsi mengawasi perkembangan pesantren-pesantren.
Hadirnya lembaga ini semakin mengkristalkan kebencian kaum santri terhadap penjajahan. Sebelumnya, Batavia juga memberlakukan Ordonansi Haji.
Aturan itu jelas-jelas menunjukkan hipokritnya pemerintah waktu itu. Sebab, di Eropa Belanda cenderung memisahkan urusan agama dari publik. Namun, di tanah jajahannya ini mereka ikut-ikutan mengatur cara beragama warga.
Hal yang janggal adalah, pemerintah dengan aturan Ordonansi Haji justru menjadi penentu apakah seseorang yang baru saja dari Tanah Suci berhak bergelar "haji." Itu sesungguhnya hanya kamuflase untuk memberlakukan filter.
Tujuannya supaya para haji Indonesia dapat disaring. Mana yang berpotensi menyebarkan gagasan perlawanan, sehingga mengganggu tatanan (rust en orde) kolonial; dan mana yang bukan.
Fauzan Asy dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara (2004) mengungkapkan, pada 1905 pemerintah kolonial menerapkan Ordonansi Guru setelah menyimak saran-saran dari Presterraden Commisie.
Aturan ini pada mulanya adalah upaya sertifikasi. Esensinya, mengekang kebebasan guru-guru agama di Jawa dan Madura. Dengan begitu, seorang guru mesti memegang izin tertulis dari pemerintah kolonial sebelum diperkenankan mengajar.
Penguasa pun dapat leluasa mengawasi dan mengontrol materi ajar. Pada 1920-an, aturan itu melunak, sehingga mewajibkan para ulama sekadar melapor saja kepada aparat.
Namun, pada 1932 muncul Ordonansi Sekolah Liar yang berupaya mengendalikan sekolah-sekolah inisiatif masyarakat. Aturan itu tidak hanya ditentang kalangan pesantren, tetapi juga kelompok pergerakan nasional sekuler.
Baca juga: Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (5)
http://bit.ly/2Gof6No
February 13, 2019 at 03:33PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Gof6No
via IFTTT
No comments:
Post a Comment