REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) terhadap empat nama tersangka yang selama ini dalam proses penyidikan korupsi. Komisioner KPK Alexander Marwata mengatakan, SP3 tersebut dikeluarkan sebagai respons dari diberlakukannya Undang-Undang (UU) KPK Nomor 19 Tahun 2019 yang memberikan kewenangan bagi KPK menerbitkan penghentian penyidikan.
Namun, kata Alexander, SP3 pertama yang akan diterbitkan itu nantinya bukan karena kurangnya alat bukti saat penyelidikan dan penyidikan di KPK. Ia menerangkan, SP3 diterbitkan karena tersangka sudah meninggal dunia. “Yang jelas, ada empat tersangka (korupsi) yang sudah meninggal. Nah, tentu akan kami terbitkan SP3,” kata Alexander saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama anggota Komisi III DPR RI di Jakarta, Rabu (26/11).
Pernyataan Alexander tersebut sebetulnya sekaligus jawaban dari pertanyaan pimpinan rapat Desmond J Mahesa. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Gerindra itu menanyakan kepada KPK tentang jumlah kasus yang berpotensi mendapatkan SP3 sebagai implementasi dari terbitnya UU KPK 19/2019. Desmond menanyakan itu karena ia menganggap penting untuk tahu alasan penerbitan SP3 tersebut. “Kira-kira berapa banyak itu kasus yang di-SP3? Karena ini penting sekali,” kata Desmond.
Menanggapi pertanyaan itu, Alexander menerangkan, memang tak banyak kasus korupsi yang tengah dilidik oleh KPK layak mendapatkan SP3. “Selebihnya tidak ada. Hanya empat saja sebetulnya,” jawab Alexander. Dalam RDP tersebut, dari KPK maupun dari para anggota Komisi III tak ada yang menanyakan tentang empat kasus dan nama tersangka yang akan diterbitkan SP3 karena tersangka meninggal dunia tersebut.
Sebelum tanya jawab tentang jumlah kasus bakal dihentikan tersebut, Alexander pun menjelaskan mekanisme internal di KPK untuk dapat menerbitkan SP3. Kata dia, di internal KPK sudah ada pembahasan untuk menginventarisasi seluruh sisa kasus yang berpotensi dihentikan.
Akan tetapi, kata dia, mekanisme internal hanya akan menerbitkan SP3 untuk penyidikan-penyidikan kasus yang tersangkanya memang sudah diketahui meninggal dunia. “Untuk tersangka-tersangka yang meninggal dunia, otomatis akan diterbitkan SP3,”ujar Alexander.
Namun, kata dia, ada juga potensi lain, seperti dalam kasus yang tersangkanya diketahui resmi mengalami penyakit akut hingga membuatnya tak dapat dihadirkan dalam persidangan. Alexander mencontohkan tersangka yang terbukti terkena strok atau kelumpuhan. “Itu kan tidak mungkin (disidangkan), akan jadi pertimbangan untuk di-SP3,” sambung Alexander.
SP3 memang menjadi kewenangan sekaligus sisi lemah yang menjadi perdebatan dalam perevisian UU KPK. Selama ini, KPK tak dibolehkan menghentikan penyidikan perkara korupsi. Mengacu UU KPK yang baru, KPK akhirnya dibolehkan penerbitan SP3 terhadap kasus-kasus yang selama dua tahun sejak penyidikan tak juga diajukan ke persidangan.
Sejauh ini, sejumlah tersangka kasus yang tercatat meninggal di KPK ada beberapa orang. Di antaranya politikus PDIP Tongas Lombanbatu yang terjerat kasus traveller cheque pemilihan gubernur Bank Indonesia. Tongas meninggal pada 2010. Kemudian, tersangka kasus suap impor sapi Iken Basya Nasution yang juga meninggal pada 2010.
Pada 2016, tersangka kasus korupsi PDAM Makassar, Hengky Widjaya, meninggal. Sedangkan, pada 2019 ini, eks bupati Bangkalan Fuad Amin Imron meninggal dalam status sebagai tersangka kasus dugaan suap terhadap Wahid Husen selaku kepala Lapas Sukamiskin, Bandung.
Terkait kematian Fuad Amin, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan sempat menyatakan gugurnya status tersangka yang bersangkutan pada Oktober lalu. Menurut Basaria, pengguguran itu merujuk Pasal 77 KUHP. "KPK akan mengacu pada Pasal 77 KUHP yang mengatur bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia," ujar Basaria dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (16/10).
Menurut Basaria, penghentian kasus yang diatur dalam Pasal 77 KUHP itu sedianya berlaku di tahap penuntutan. Kendati demikian, KPK menyimpulkan bahwa sebab penuntutan merupakan kelanjutan dari penyidikan maka status tersangka Fuad Amin bisa digugurkan.
Kasus Pelindo
Dalam rapat dengan Komisi III kemarin, KPK juga menegaskan tidak akan menerbitkan SP3 untuk kasus dugaan korupsi eks direktur utama Pelindo II RJ Lino meski kasus tersebut mengendap sejak 2015 lalu.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menerangkan, penetapan RJ Lino sebagai tersangka sudah berdasarkan dua alat bukti. “Tetapi, ketika jaksa mau masuk ke pengadilan, dia harus menghitung secara pasti berapa yang paling eksak (pasti) kerugian negaranya," kata Laode.
Saat penetapan tersangka, penghitungan kerugian negara secara investigatif telah dilakukan penyidik KPK. Namun, tugas penghitungan kerugian negara secara pasti harus dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan syarat sudah ada perbuatan melawan hukum. "BPKP lama-lama hampir satu tahun lebih, dua tahun, enggak mau hitung. Saya kurang tahu apa yang terjadi," kata Laode.
Akhirnya, lanjut Laode, KPK memutuskan untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan perhitungan. Bertahun-tahun, perhitungan itu pun tak kunjung selesai. Alasannya, kata Laode, karena harga pembanding terkait barang korupsi di kasus itu tidak ada. "Karena dokumen dari Cina tidak ada. Betul. Waktu itu saya dengan Pak Agus sudah di Beijing mau minta itu, (tapi) di-cancel pertemuannya," kata Laode.
Laode juga menyebut pihak otoritas Cina tidak kooperatif. Oleh karena itu, KPK mesti meminta ahli menghitung komponen per komponen. "Jadi, jangan anggap KPK itu tidak melakukan upaya maksimum. Bahkan, ada satu tim forensik kami pergi, peretelin itu semuanya ke tempat lain," kata Laode.
https://ift.tt/37JvVN8
November 28, 2019 at 07:27AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/37JvVN8
via IFTTT
No comments:
Post a Comment