REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Quick Response Indonesia Standard (QRIS) diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk menggunakan nontunai sebagai sistem pembayaran. Seiring berkembangnya teknologi, digitalisasi telah mengubah lanskap sistem pembayaran di Indonesia.
Sejumlah teknologi finansial (tekfin) seperti e-wallet (OVO, Go-Pay, Dana, LinkAja) telah mengawali dan memasifkan penetrasi pembayaran dengan nontunai. Beberapa juga telah menggunakan metode QR sebagai kanal untuk bertransaksi.
Meski demikian, BI melihat sejumlah kekurangan dari metode pembayaran dengan QR yang ada saat ini. Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI menyampaikan, sistemnya yang masih closed loop berpotensi membuat toko memiliki banyak identitas QR.
"Kalau tidak diatur dengan QRIS, nanti di toko itu berjejer ada QR dari OVO, Gopay, Dana, punya satu-satu dan itu tidak efisien," kata dia.
Penetrasi penggunaan nontunai juga bisa lebih masif karena masyarakat memiliki lebih banyak pilihan sumber dana, entah rekening bank atau e-wallet. Sehingga mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang tunai.
Ke depannya, toko-toko kecil atau warung juga dapat memiliki kode QR sebagai identitas kasir mereka. Filianingsih mengatakan ini dapat memudahkan UMKM mengelola keuangan mereka. Dengan ini, BI mengupayakan minimalisasi penggunaan uang kartal.
Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan sehingga distribusi uang kertas perlu upaya besar. Dengan QRIS, BI berupaya mengubah pola pikir masyarakat untuk menggunakan nontunai saja karena lebih mudah, murah, sederhana, dan cepat.
"Kita sudah berhasil dengan elektronifikasi sistem pembayaran, seperti e-toll, transportasi, juga bansos," kata dia.
Pengembangan lebih jauh, salah satunya QRIS, dapat memperkuat ekosistem nontunai Indonesia. Diharapkan inklusi keuangan yang pada 2018 sebesar 49 persen bisa meningkat jadi 75 persen pada tahun ini.
"Apalagi saat ini masyarakat telah familiar dengan ponsel yang bisa jadi alat bantu pengembangan QR," kata Filianingsih. Sistem tersebut juga sudah terkenal aman dan cepat sehingga efisien sebagai alat pembayaran.
Saat ini, penyedia jasa sistem pembayaran (PJSP) nonbank yang menyimpan dana dengan basis chip hanya berjumlah 0,2 persen sementara berbasis server berjumlah 99,8 persen. Pengguna (PJSP) non bank yakni 113,5 juta akun dan bank sebanyak 60,3 juta.
Menurut data BI, total ada 22 penerbit uang elektronik non bank dan 12 penerbit uang elektronik bank. Sementara untuk jumlah transaksinya untuk non bank lebih tinggi yakni rata Rp 33 ribu per hari, dibanding bank Rp 13 ribu per hari.
https://ift.tt/2ON4ARk
April 04, 2019 at 07:02PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2ON4ARk
via IFTTT
No comments:
Post a Comment