REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY – Nisreen Abdul Salam memiliki cara memanjakan dirinya agar lebih merasa cantik dan nyaman. Ibu empat anak itu telah kehilangan suami dan rumahnya saat gempuran di Jalur Gaza pada 2014.
Perempuan berusia 46 tahun itu adalah lulusan perguruan tinggi jurusan guru. Namun, saat ini dirinya menganggur dan hidup bersama orang tuanya.
Cedera fisik Nisreen akibat gempuran rudal sudah sembuh. Namun, trauma masih menghantui dirinya. Terlepas dari itu semua, Nisreen mengalami gejolak tak biasa pada dirinya. Rambut-rambut mulai tumbuh di wajahnya. Padahal, itu belum pernah terjadi sebelum serangan.
Secara budaya, rambut di wajah wanita disukai di Gaza. Namun, rambut-rambut itu mengingatkannya pada semua tekanan dan rasa sakit, tentang kehilangan dan rasa tak bisa memiliki orang yang disayangi.
Hal itu yang membuatnya berada di klinik kosmetik paling terpercaya di Gaza pada suatu Sabtu, November lalu. Abdul Salam menghabiskan sekitar 100 shekel (101 dirham) atau sekitar Rp 392 ribu untuk menghilangkan rambut-rambut di wajahnya melalui metode laser.
Nisreen datang bersama kerabatnya, Iman (39 tahun). Iman adalah ibu tujuh anak yang mengalami ruam usai berenang di laut yang tercemar di Gaza. Dia juga ingin menghilangkan ruam-ruam itu.
“Secara umum, situasi ekonomi sangat sulit bagi semua orang. Tetapi bagi saya, untuk diri saya sendiri, saya ingin memiliki penampilan yang cantik untuk menjadi bahagia. Jadi saya akan menghabiskan uang untuk merasa nyaman,” kata istri penjual ikan itu, seperti dilansir Thenational.ae, Sabtu (30/3).
Hal-hal seperti itu yang membuat dr Salah Al Zanin (56 tahun) tetap bertahan membuka klinik bedah plastiknya. Dia adalah satu-satunya ahli bedah plastik di Gaza, dengan kualifikasi Eropa.
Terlepas dari pengepungan Israel, ekonomi yang runtuh, dan politik represif yang menghancurkan Hamas, dr . Al Zanin terus kedatangan pelanggan untuk mencari kesenangan sederhana, seperti penghilangan rambut, sedot lemak, botox, dan dermabrasi.
“Seorang wanita Palestina di Gaza memiliki hak untuk terlihat cantik,” ujar dr Al Zanin.
Beberapa pelanggannya seperti Nisreen, mengetahui tentang klinik bedah plastik melalui media sosial Facebook atau dari mulut ke mulut. Di lain waktu, hadiah suami untuk perawatan botox atau jenis kosmetik lainnya, setara dengan liburan romantis pasangan.
“Situasi psikologis dan tekanan orang-orang di Gaza, membuat orang yang hidup 30 tahun di negara Eropa tidak seperti orang yang hidup 30 tahun di Gaza,” kata dia.
Gaza masih menganut pandangan sosial konservatif tentang perkawinan, di mana umum bagi seorang pria menceraikan istrinya, jika terluka. Namun, dr Al Zanin menawarkan alternatif solusi dari masalah itu.
“Jika suami hanya membawa wanita itu ke sini (klinik), itu lebih murah daripada menikah lagi,” ujar dia.
Dr Al Zanin telah bekerja di bidang itu selama lebih dari 30 tahun. Dia belajar bedah kosmetik di Yunani. Dia berkewarganegaraan Yunani. Namun, dia memutuskan kembali ke Palestina enam tahun lalu. Dia iba menyaksikan kondisi warga Palestina dan menawarkan jasa.
Awalnya tidak mudah. Ketika pertama kali memutuskan pindah bersama istri dan tiga anaknya, dr Al Zanin menduga dia bisa datang dan pergi dengan kewarganegaraan Eropanya. Nyatanya, dia tidak bisa meninggalkan Gaza sejak itu.
Dia juga harus membayar banyak pajak, baik kepada otoritas Israel dan Hamas, semua mesin, peralatan dan barang-barang lain yang diimpor.
Keuntungan minimal untuk perawatan Botox yang menelan biaya sebesar 1.300 shekel (sekitar Rp 5 juta), hanya menghasilkan sekitar 100 shekel, setelah melunasi biaya terkait. Dia juga sering memberikan diskon atau layanan gratis kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Harga operasi plastik di Gaza lebih rendah daripada negara mana pun. Banyak masyarakat kurang mampu seperti di belahan dunia lain.
Namun, salon kecantikan tetap ramai didatangi wanita, seperti persiapan pesta pernikahan dan lain-lain.
Di satu sisi praktik kecantikan itu mencerminkan politik patriarki yang terbatas menganggap wanita sebagai objek menyenangkan bagi pria.
Namun di sisi lain, May Elefranji (29 tahun) melihat hasratnya untuk merias wajah sebagai sarana ekspresi dan pemenuhan diri, dari sekadar tatapan laki-laki.
Elefranji adalah selebgram Gaza yang kerap mengunggah tutorial berias untuk ribuan penggemarnya di platform berbagi foto dan Facebook. Elefranji tinggal di apartemen kelas satu.
Elefranji menggambarkan visinya sebagai pengembangan praktik kecantikan wanita Gaza.
Dia mencoba mempopulerkan gaya dan teknik rias baru dan berencana untuk memulai salon spa-esque yang akan terbuka untuk semua orang sebagai tempat bagi wanita untuk bersantai dan merasa cantik.
Salon itu telah beroperasi selama berbulan-bulan. Namun, sangat sulit memulai hal baru dengan kondisi Gaza saat ini.
"Ketika saya marah atau lelah, saya (merias) dan merasa lebih baik. Kamu melihat dirimu seperti yang kamu inginkan,” kata Elefranji.
https://ift.tt/2CNhSby
March 30, 2019 at 06:57PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2CNhSby
via IFTTT
No comments:
Post a Comment