Pages

Wednesday, February 13, 2019

Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (7)

Kaum santri juga terdampak Politik Etis ala Kolonial Belanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyambut fajar abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda mulai memberlakukan Politik Etis di tanah jajahannya, Indonesia (Hindia Belanda). Kebijakan ini memang bertopeng “mulia”, yakni memerhatikan nasib kaum Pribumi.

Namun, pada hakikatnya apa yang dinamakan "panggilan moral dan hutang budi" (een eerschuld) sebatas slogan saja. Kebanyakan rakyat justru kian sengsara. Daniel Dhakidae (2003: 70) menyimpulkannya sebagai berikut: “Tidak pernah suatu komunitas cendekiawan ‘dihasilkan’ secara kualitatif dan kuantitatif sebesar itu selain pada masa ini [Politik Etis]. Namun, berbarengan dengan itu, juga tidak pernah kekerasan dijalankan secara sistemik seperti pada masa ini.”

Yang disebutnya “komunitas cendekiawan” adalah kalangan Pribumi yang terdidik secara Barat-sekuler. Memang, awal abad ke-20 menyaksikan munculnya golongan terpelajar di Tanah Air.

Pemerintah kolonial mulai membuka banyak sekolah, terutama pada kota-kota besar di Jawa dan Sumatra. Walaupun kurikulumnya sebagian besar mengadopsi yang berlaku di Negeri Belanda, pemberlakuannya tetap saja timpang. Pemerintah melanggengkan stratifikasi sosial.

Sebagai contoh, ada sekolah-sekolah yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak bangsa Eropa atau yang disetarakan. Maka dari itu, tidak semua Pribumi, apalagi yang tidak berdarah ningrat, dapat memasukinya.

Dampak untuk Dunia Pesantren

Dengan hadirnya Politik Etis, dunia pesantren tampak semakin jauh dari paradigma politik kolonial. Jajat Burhanuddin (2017: 329) mengistilahkan kalangan ulama dan santri pada masa itu sebagai “suatu yang lain yang terkonsolidasi.”

Artinya, mereka membedakan diri daripada banyak orang Pribumi yang sekuler (baca: abangan), apatah lagi penguasa Hindia Belanda. Mereka memiliki dunianya tersendiri, tetapi mantap mengakar ke tradisi.

Di Tanah Air, banyak orang terpelajar Pribumi di perkotaan yang tertarik pada modernisme. Paham ini tersebar luas tidak hanya melalui edukasi yang diterima di sekolah-sekolah formal, tetapi juga media massa cetak. Koran mulai marak bermunculan saat itu. Di antara kaum terpelajar itu lalu membentuk berbagai organisasi untuk mengejawantahkan semangat kemajuan.

Sementara itu, di lingkungan santri pun telah dikenal gagasan yang sama. Hanya saja, modernisme yang digiatkan kalangan pesantren tidak bersumber dari teks-teks Barat, melainkan hasil thalab al-‘ilm para ulama Nusantara di Tanah Suci (atau Asia Barat dan Afrika Utara umumnya).

Baca juga: Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (6)

Pada abad ke-20, orbit perantauan komunitas Jawi tidak hanya Haramain, tetapi melebar hingga ke Kairo (Mesir). Dari sanalah datangnya gagasan modernisme Islam yang dikibarkan tokoh-tokoh dengan reputasi global, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Pada intinya, mereka berupaya menggugah kesadaran kaum Muslimin sedunia agar bangkit. Umat Islam perlu mengejar ketertinggalan terhadap bangsa-bangsa Barat (non-Muslim) dalam segala aspek duniawi. Para pengikut Nabi SAW diimbaunya agar meninggalkan sikap jumud dan antipati yang ekstrem terhadap perkembangan teknologi Abad Modern.

Dalam konteks Nusantara, peran Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mesti disebutkan. Walaupun dirinya tergolong tradisionalis, imam besar Masjidil Haram itu menyilakan murid-muridnya untuk membuka wawasan seluas-luasnya. Misalnya, dengan membaca karya-karya para tokoh modernis Islam.

Dua orang di antaranya, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyarie, kelak ketika kembali ke Tanah Air mewujudkan modernisme Islam dengan warna yang berlainan, tetapi metode serupa, yakni membentuk organisasi berciri khas modern: Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926).

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2SKhzrk
February 13, 2019 at 03:47PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2SKhzrk
via IFTTT

No comments:

Post a Comment