REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- PBB membutuhkan dana sebesar 920 juta dolar AS untuk membantu pengungsi Rohingya tahun ini. PBB bersama sejumlah organisasi nonpemerintah telah meluncurkan Joint Response Plan (JRP) guna mengumpulkan dana tersebut.
Dari kebutuhan 920 juta dolar AS, lebih dari separuhnya dialokasikan untuk kebutuhan makanan, air, sanitasi, dan tempat tinggal. Sementara sisanya diperuntukkan bagi kepentingan kesehatan, manajemen lokasi, pendidikan serta perlindungan terhadap anak-anak.
"Urusan kemanusiaan kita hari ini adalah menstabilkan situasi pengungsi Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan dan tuan rumah mereka di Bangladesh. Kami mengharapkan kontribusi yang tepat waktu, dapat diprediksi, dan fleksibel guna memenuhi tujuan tahun ini," kata Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filipo Grandi, dikutip laman UNHCR, Jumat (15/2).
Kendati kebutuhan terhadap bantuan kemanusiaan cukup mendesak, tapi menurut Grandi, solusi terhadap krisis Rohingya tidak bisa diabaikan. "Saya mengulangi seruan saya ke Myanmar untuk mengambil tindakan segera guna mengatasi akar penyebab krisis ini yang telah berlangsung selama beberapa dekade sehingga orang-orang tidak lagi dipaksa melarikan diri dan pada akhirnya dapat kembali ke rumah dengan aman serta bermartabat," ujarnya.
Ia pun mendorong negara-negara di kawasan untuk menunjukkan solidaritasnya terhadap Bangladesh. Negara tersebut telah bersedia menampung ratusan ribu pengungsi di wilayah perbatasannya.
Selama 12 bulan terakhir, PBB bersama lembaga-lembaga bantuan telah berusaha memperbaiki kondisi di seluruh permukiman pengungsi Rohingya. Hal itu dilakukan di bawah JRP 2018, yang berhasil menghimpun dana sebesar 655 juta dolar AS.
Selain memberikan bantuan dasar, PBB dan lembaga-lembaga bantuan juga berupaya meningkatkan kondisi kehidupan di kamp-kamp pengungsi serta menerapkan langkah-langkah mitigasi risiko bencana untuk menghadapi musik hujan dan topan. Gelombang pengungsi Rohingya mulai memasuki Bangladesh pada Agustus 2017, tepatnya setelah militer Myanmar menggelar operasi pemburuan terhadap anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di Negara Bagian Rakhine.
Lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri karena takut menjadi sasaran operasi militer Myanmar. Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan meggantungkan hidup pada bantuan internasional.
Pada November 2017, Bangladesh dan Myanmar menyepakati pelaksanaan repatriasi. Tahun lalu, kedua negara memulai proses pemulangan sekitar 2.200 pengungsi. Namun, proses tersebut dikritik oleh sejumlah negara, termasuk PBB.
UNHCR telah menyerukan Myanmar agar mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk terlebih dulu mengunjungi tempat asalnya atau tempat mereka akan dimukimkan kembali. Hal itu dilakukan agar para pengungsi memiliki penilaian sendiri tentang apakah mereka betul-betul dapat kembali ke sana dengan aman dan bermartabat. UNHCR pun masih menyangsikan hak-hak dasar Rohingya, khususnya jaminan kewarganegaraan mereka, dapat dipenuhi oleh Myanmar.
http://bit.ly/2UZodHG
February 15, 2019 at 07:30PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2UZodHG
via IFTTT
No comments:
Post a Comment