REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mempertanyakan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengenai data kebutuhan industri riil terhadap gula mentah impor.
Pertanyaan tersebut muncul dengan melihat kondisi rembesan gula mentah yang ternyata diproduksi menjadi gula kristal rafinasi (GKR) dan dijual ke pasar. Padahal, seharusnya, produk itu hanya untuk industri yang memang membutuhkan, terutama industri makanan dan minuman (mamin).
"Ini dulu yang harus diselesaikan," tutur Andry ketika dihubungi Republika, Rabu (13/2).
Pada awal Februari, Kemendag baru mengeluarkan Persetujuan Impor (PI) 1,4 juta ton gula mentah yang ditujukan untuk 11 perusahaan gula rafinasi. Andry juga mempertanyakan mengenai mekanisme dari Kemendag untuk menjamin komoditas tersebut tidak meluber ke pasar. Sebab, rembesan itu nyata terjadi saat ini.
Andry menambahkan, Kemendag kemarin justru memberikan sanksi kepada distributor, bukan oleh produsen. Kemendag seharusnya memberikan sanksi kepada produsen apabila memang terbukti melanggar, misal dengan mencabut kuota impor. "Tapi, sampai saat ini belum ada kejelasan," katanya.
Andry menilai, kebocoran gula rafinasi sebenarnya bukanlah permasalahan baru karena ada pihak yang ‘bermain’. Pemerintah sepatutnya sudah memberi tindakan tegas sejak lama. Tapi, tidak adanya sanksi yang diberikan sampai saat ini patut menimbulkan pertanyaan besar.
Tidak hanya Kemendag dan Kemenperin, Andry menambahkan, pekerjaan rumah juga dimiliki oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Mereka harus memastikan rendemen tebu dapat tinggi sehingga industri mau menggunakan gula lokal. Tanpa hal ini, praktik rent seeking impor gula akan terus berlanjut.
Sementara itu, Kemendag memastikan, pemerintah telah menerbitkan Persetujuan Impor (PI) gula mentah atau raw sugar untuk keperluan industri sebanyak 1,4 juta ton. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan, perizinan itu diberikan kepada 11 perusahaan gula rafinasi.
Gula impor tersebut dikirim untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi (GKR) demi kebutuhan industri. "Di rakortas (rapat koordinasi terbatas) tingkat menteri, sudah disetujui atas kuota impor tersebut," ujar Oke saat dikonfirmasi Republika, Rabu (13/2).
Menurut Oke, PI tersebut adalah bagian dari kuota impor gula mentah yang juga sudah disepakati antar kementerian dan lembaga terkait. Dalam rakortas, disepakati bahwa kuota impor gula mentah tahun ini adalah 2,8 juta ton dengan perizinan yang dibagi menjadi dua semester.
Untuk semester pertama ini, Oke menjelaskan, terbit 1,4 juta ton kepada perusahaan yang merupakan anggota Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Sisanya, akan dikeluarkan lagi pada semester kedua.
"Untuk waktu (pengiriman) pastinya, tanya ke AGRI," ujarnya.
Sementara itu, Pelaksana Teknis (Plt) Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, impor tersebut ditujukan untuk industri yang mengolah gula mentah menjadi GKR. Tujuannya, guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri makanan dan minuman serta farmasi.
Sigit menambahkan, impor gula mentah yang akan diolah menjadi GKR pada tahun ini hanya 2,8 juta ton. Jumlah tersebut turun sekitar 12,5 persen dibandingkan 2018.
"Impor gula mentah selama ini didatangkan dari India, Thailand, Australia dan Brazil," katanya dalam rilis yang diterima Republika, beberapa waktu lalu.
Sigit memastikan, pemerintah sudah berupaya menekan volume impor dengan menggenjot investasi industri gula terintegrasi dengan kebun. Saat ini, sudah ada tiga investor yang menyatakan berkomitmen berinvestasi di sektor ini. Tapi, baru satu di antaranya yang sudah menyelesaikan integrasinya.
http://bit.ly/2Sy3BcI
February 13, 2019 at 06:11PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Sy3BcI
via IFTTT
No comments:
Post a Comment